Senin, 27 Juni 2011

KONTRASEPSI DARURAT

Di poskan oleh : Cintya Zareva, Am Keb                                  pada tanggal : 25 mei 2011

Kontrasepsi darurat atau yang biasa disebut morning after pill adalah hormonal tingkat tinggi yang di minum untuk mengontrol kehamilan sesaat setelah melakukan hubungan seks yang beresiko. Pada prinsipnya pil tersebut bekerja dengan cara menghalangi sperma berenang memasuki sel telur dan memperkecil terjadinya pembuahan.
Metode ini telah lebih sering disebut sebagai kontrasepsi pasca sanggama, banyak wanita yang tidak mengetahui metode ini dan metode inisulit di peroleh ( Speroff dan Darney, 2003).
Di Eropa, kemasan – kemasan khusus dengan intruksi tercetak dipasarkan secara apesifik untuk kontrasepsi darurat. Kalaupun tahu, para wanita tersebut tidak memiliki pengetahuan yang akurat dan terinci mengenai metode ini. Sikap yang positif terhadap metode ini membutuhkan pengetahuan dan ketersedian ( Sperooff dan Darney, 2003).
After morning pill termasuk jenis alat kontrsepsi darurat yang idealnya hanya di pakai pada kondisi pelaku hubungan seks tidak menginginkan terjadinya pembuahan. padahal, saat melakukan hubungan seks mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi apapun baik pil spiral, susuk atau bahkan kontrasepsi instant seperti kondom.
Kalangan medis juga merekomendasikan agar After morning pill tidak di rekomendasikan di pakai secara teratur dan sebaiknya hanya di gunkan pada masa – masa darurat saja. Pola pemakaian yang tepat dan suai dengan prosedur sangat di perlukan guna menjamin efek tivitas ini.
Di Indonesia pada tahun 2008 pasangan usia subur ( yang tidak menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 10-11% lebih dari 4 juta pasangan, dan yang memakai sekitar 89% atau lebih dari 1,5 juta pasangan dari jumlah tersebut sekitar 90% mendatangkan kehamilan. Dan dari data tersebut diantara keseluruhan PUS, ada sekitar 65% ibu tidak mengetahui tentang kontrasepsi darurat, 45% lainnya sudah mengetahui, namun tidak mengetahui cara penggunaannya, dan mungkin ini juga dikarenakan kurangnya penyuluhan atau informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan. Penggunaan alat kontrasepsi memang tidak bias dijamin 100% mencegah kehamilan. Tingat keberhasilan tergantung pada keadaan fisik dan kedisplinan pengguna dan pasanganya. Kehamilan bisa saja terjadi bila ada kelalaian dalam aturan cara pengguna alat kontrasepsi (Ayahbunda, 2008).
After morning pill paling umum di konsumsi dalam 2 dosis, dosis pertama di minum segera mungkin setelah berhubungan seks dalam 72 jam terakhir dan dosis ke 2 di minum 12 jam kemudian.
Kontrasepsi darurat dapat mencegah kehamilan bila di gunakan segera setelah hubungan seksual tampa pengaman, namun tidak boleh di pakai metode KB rutin atau terus menerus
Kontrasepsi darurat tidak sama dengan praktek aborsi loh, karena kontrasepsi darurat untuk mencegah terjadinya pembuahan ( Nidasi ) sedangkan aborsi adalah upaya pembunuhan karena dilakukan saat sudah terjadi pembuahan.
Seperti halnya alat kontrasepsi lainnya, alat kontrasepsi ini juga tidak steril dari efek samping. Efek samping dari kondar terbagi atas :
1. Mual
Keluhan ini pada umumnya hanya terjadi dalam 24 jam pertama setelah pemakaian.
2. Muntah
Bila muntah terjadi < 2 jam setelah pemberian maka pil KB tersebut harus di ulangi lagi. Untuk kasus seperti ini, sebaiknya di berikan obat anti muntah 1 jam sebelum pemberian ulang kondar.
3. Perdarahan
Beberapa pemakaian kondar akan mengalami perdarahan bercak setelah memakai kondar. Hamper sebagian besar pemakai akan mendapat menstruasi sesuai atau lebih cepat dari waktunya. Bila terjadi keterlambatan lebih 7 hari haid semestinya, maka harus di pikirkan kemungkinan terjadinya kehamilan.
Efek samping lain yang mungkin terjadi seperti nyeri payudara, sakit kepala, pusing, sakkit perut, capek dan jadwal haid yang berubah. ( Depkes RI, 2004)
Di Sumatera Utara pada tahun 2009 pasangan usia subur ( yang tidak menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 15% lebih dari 6 juta pasangan, dan yang memakai sekitar 75% atau lebih dari 3,5 juta pasangan dari jumlah tersebut sekitar 80% mendatangkan kehamilan. Dan dari data tersebut diantara keseluruhan PUS, ada sekitar 69% ibu tidak mengetahui tentang kontrasepsi darurat, 43% lainnya sudah mengetahui, namun tidak mengetahui cara penggunaannya, dan mungkin ini juga dikarenakan kurangnya penyuluhan atau informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan

Rabu, 22 Juni 2011

Status Gizi

Oleh : Darwanto, 12 mei 2010



Gangguan kesehatan tak selalu identik dengan kekurangan gizi, tapi juga kelebihan gizi. Keduanya sama-sama berdampak negatif terhadap kesehatan dan kualitas hidup manusia. Itulah yang kini menjadi fokus perhatian sejumlah pakar kesehatan di Indonesia.
Data status gizi berdasar riset badan kesehatan dunia World Health Organization 2009 di Dunia menunjukkan, balita bertubuh kurus sebanyak 16,5 persen, dan balita bertubuh gemuk 25,4 persen. Lalu, anak 6-12 tahun, yang mengalami kegemukan 11,6 persen dan yang kurus 18.4 persen. (William, 2009)
Ahli gizi sekaligus Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Prof Soekirman, SKM, MPS-ID, PhD, mengatakan, kekurangan dan kelebihan gizi umumnya terjadi akibat perubahan pola makan yang tidak bergizi seimbang.
Kekurangan gizi ditandai dengan lambatnya pertumbuhan tubuh (terutama pada anak), daya tahan tubuh rendah, kurangnya tingkat intelegensia (kecerdasan), dan produktivitas yang rendah. Ini terjadi akibat asupan gizi di bawah kebutuhan.
Sementara kelebihan gizi ditandai dengan kelebihan berat badan. Ini jelas memperbesar risiko munculnya berbagai penyakit kronis degeneratif, seperti diabetes, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Kondisi ini terjadi karena asupan gizi melebihi kebutuhan.
Data status gizi berdasar riset kesehatan dasar 2010 di Indonesia menunjukkan, balita bertubuh kurus sebanyak 13,3 persen, dan balita bertubuh gemuk 14 persen. Lalu, anak 6-12 tahun, yang mengalami kegemukan 9,2 persen dan yang kurus 12,2 persen. ( Lun, 2010)
Perlahan, masyarakat Indonesia mungkin sudah bisa lepas dari persoalan kekuarangan gizi. Yang terjadi justru memasuki masa transisi dari persoalan kurang gizi ke kelebihan gizi. Bahkan, masalah kelebihan gizi mulai menimpa masyarakat kelas ekonomi rendah.
Artinya, mereka dengan tingkat ekonomi rendah, bukan tak mungkin menderita penyakit kronis degeneratif seperti jantung. “Ini bisa lebih memberi beban ekonomi pada mereka,” kata Soekirman, di sela-sela acara ‘Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang’, Kamis, 27 Januari 2011.
Gemuk tak lagi menjadi simbol kemakmuran. Salah satu pemicunya adalah kehadiran junk food yang dangat terjangkau masyarakat kalangan bawah. Konsumsi makanan ini sangat buruk bagi kesehatan, apalagi jika tak diimbangi dengan olahraga seimbang.
Data status gizi berdasar penelitian yang dilakukan oleh sukma 2009 di Sumatera Utara menunjukkan, balita bertubuh kurus sebanyak 4,8 persen, dan balita bertubuh gemuk 8,2 persen. Lalu, anak 6-12 tahun, yang mengalami kegemukan 5,3 persen dan yang kurus 9,1 persen. (Sukma, 2009)
Demikian pula masalah kekurangan gizi, yang bisa menimpa kalangan menengah ke atas. Umumnya terjadi akibat buruknya sanitasi lingkungan dan kebersihan diri yang potensial memicu penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Dan, mereka yang sering terkena infeksi potensial menderita kekurangan gizi.
Mengatasi persoalan kurang dan kelebihan gizi ini bisa dilakukan dengan memahami dan mempraktekkan pola makan bergizi seimbang. Caranya, konsumsi makanan bergizi dalam jenis dan jumlah yang sesuai kebutuhan tubuh, usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan kondisi biologis.
Memperhatikan variasi makanan juga penting, selain menerapkan gaya hidup sehat seperti olahraga rutin, mengontrol berat badan, dan menjaga kebersihan diri. “Berbeda dari prinsip empat sehat lima semprna, yang hanya memperhatikan prinsip variasi makanan, tanpa menyesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan usia, jenis kelamin, aktivitas fisik dan kondisi biologis.”

Rabu, 15 Juni 2011

Alat Kontrasepsi


 Oleh : sakti, AMK
paradigma baru program keluarga berencana telah diubah visinya dari mewujudkan NKKBS menjadi visi untuk mewujudkan “ Keluarga Berkualitas Tahun 2010 “. Keluarga berkualitas adalah yang sejahterah, sehat, maju, mandiri,  memiliki jumlah anak yang ideal, bertanggu jawab, harmonis dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam paradigma baru program keluarga berencana ini, misinya sangat menekankan pentingnya upaya menghormati hak - hak reproduksi, sebagai upaya intergral dan meningkatkan kualitas keluarga. Keluarga adalah salah satu diantara kelima mitra kependudukan yang sangat mempengaruhi perwujudan penduduk yang berkualitas. Visi tersebut dijabarkan dalam enam misi, yaitu: 1. Meperdayakan masyarakat untuk menbangun keluarga kecil, berkualitas. 2. Menggalang kemitraan dalam peningkatan kesejahteraan, kemandirian, dan ketahanan keluarga.3. Meningkatkan kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. 4. Meningkatkan promosi, perlindungan dan upaya mewujudkan hak-hak reproduksi. 5. Meningkatkan upaya memberdayaan perempuan untuk mewujudkan  kesetaraan dan keadilan jender melalui program keluarga berencana, dan menpersiapkan sumber daya manusia berkualitas sejak perubahan dalam kandungan sampai dengan lanjut usia. (Winkjosostro, Jakarta 2003 halaman MK – 72).
     Pencegahan kematiaan dan kesakitan ibu merupakan alasan utama di perlukan pelayanan keluarga berencana. Masih banyak alasan lain  misalnya membebaskan wanita dari rasa khawatir terhadap terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, terjadinya gangguan fisi atau psikologik akibat tindakan abortus yang tidak aman, serta tuntutan perkembangan sosial terhadap peningkatan status perempuan di masyarakat. (Winkjosostro, Jakarta 2003 MK 77).
     Lebih dari satu dasar warsa Program Keluarga Berencana  Nasional dilaksanakan di Indonesia. Selama umum waktu tersebut telah banyak hasil yang dicapai. Salah satu bukti keberhasilan program antara lain semakin tingginya angka pemakaian kontrasepsi. Survei Demografi dan kesehatan indonesia tahun 1997(SDKI 1997) memperlihatkan proporsi perserta KB untuk semua cara tercatat sebesar 57,4%. Bila dirinci lebih lanjut, proporsi perserta KB yang terbanyak adalah suntikan (21,1 %), diikuti oleh pil (15,4%), IUD (8,1%), Norplan atau susuk KB (6%), MOW (3%), kondom (0,7%), MOP (0,4%) dan sisahnya merupakan perserta KB tradisional yang masih-masih menggunakan cara tradisional pantang berkala maupun senggama terputus. (BKKBN, Jakarta : 1998 Hal 20).
     Semakin berkurangnya angka kelahiran di indonesia dengan sendirinya berpengaruh terhadap angka pertumbuhan penduduk. Di awal pelaksanaan program, yaitu antara tahun 1971 hingga tahun 1980, rata-rata pertumbuhan penduduk indonesia setiap tahun sebesar 2,3%. Antara tahun 1980 hingga tahun 1990 telah turun menjadi 2,0%. Hasil sensus penduduk indonesia tahun 2000 memperlihatkan angka pertumbuhan penduduk pada kurun waktu tahun 1990 hingga 2000 telah semakin berkurang hingga menjadi 1,4% .
     Laju pertumbuhan penduduk yang semakin menurun memberikan dampak pada jumlah penduduk secara keseluruhan. Hasil sensus penduduk Indonesia pada tahun 2000 memperlihatkan bahwa jumlah penduduk Indonesia tercatat sebesar 204,4 juta, terdiri dari 103,4 juta penduduk laki-laki dan 102,8 juta penduduk perempuan. Tentunya hasil yang dicapai bukan hanya merupakan dampak dari program KB sementara tapi juga karena adanya komitmen yang tinggi dari pemerintah maupun berbagai dukungan dari lintas sektoral.
Menurut penelitian yang di lakukan oleh Ambarwati, 2009 di daerah Bengkulu, pasangan usia subur (PUS) yang menggunakan metode senggama terputus sekitar 0.9%, Makasar 0.1% , Bandung 0.3% dan Surabaya 0.6%. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyaknya pasangan usia subur yang menggunakan metode senggama terputus. (BKBBN, 2009)
     Di Makassar khususnya di RS Tingkat II Pelamonia Makassar 2009 akseptor KB sebanyak 200 perserta dengan akseptor suntik 105 peserta, akseptor pil 22 peserta, akseptor AKDR / IUD 32 peserta, Implan 2 peserta, MOW 36 peserta, dan komdom 3 peserta.
     Pelayanan KB hingga saat ini dirasakan masih kurang berkualitas. Hal ini terbukti dengan relatif masih banyaknya perserta KB yang berhenti menggunakan alat kontrasepsi (drop out) karena alasan efek samping dan kesehatan maupun kegagalan dalam pemakaian. Hal terakhir ini yang menyebabkan kehamilan yang sesungguhnya tidak diinginkan.(BKKB, 1998 Hal 14).
     Berdasarkan metode atau alat yang digunakan, angka drop out tertinggi terjadi pada pemakaian kondom (38%).diikuti oleh ditemukan secara berturut-turut adalah karena ingin hamil (34%), masalah kesehatan (15,5%), efek samping (11%), dan kegagalan (11%). Khusus pada AKDR faktor yang mempengaruhi AKDR di empat propinsi yaitu Jawa Timur, Bali, Sumatra, dan Bengkulu menemukan asalan utama wanita berhenti menggunakan AKDR adalah karena terjadi komplikasi (32%), berikutnya alasan ingin anak lagi (17%), suami merasa tidak nyaman (11%), dan AKDR dilepas sendirii (10%).
 (BKKBN, Jakarta : 1998 Hal 20).
     Salah satu efek yang sering muncul karena terjadinya komplikasi pada akseptor AKDR diantaranya adalah Erosi Portio. Angka kejadian terjadinya Erosi Portio khususnya di RS Pelamonia pada tahun 2009  sebanyak 6 kasus, dan pada bulan januari sampai mei 2010 ditemukan 2 akseptor AKDR dan 2 kasus ditemukan terjadi erosi portio pada saat kontrol AKDR di Poli KB di RS Pelamonia Makassar.
     Erosi Porsio adalah pengikisan mulut rahim yang biasa disebabkan oleh karena manipulasi atau akibat manipulasi atau keterpaparan bagian tersebut oleh suatu benda misalnya : saat pemasanga AKDR, hubungan seksual, yang mengakibatkan terjadi radang dan lama-lama menjadi infeksi. (www.geogle memahami Reproduksi Wanita, 10 mei 2010)

Selasa, 14 Juni 2011

Faktor Kematian Ibu Hamil

Kehamilan dan persalinan merupakan proses alamiah, tetapi bukannya tanpa risiko dan merupakan beban tersendiri bagi seorang wanita. Sebagian ibu hamil akan menghadapi kegawatan dengan derajat ringan sampai berat yang dapat memberikan bahaya terjadinya ketidaknyamanan, ketidakpuasan, kesakitan, kecacatan bahkan kematian bagi ibu dan bayinya. Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan pasca persalinan, uri tertinggal, partus tak maju/partus lama serta infeksi.(Nursalam,2006) Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas merupakan masalah kesehatan yang penting, bila tidak ditanggulangi akan menyebabkan angka kematian ibu yang tinggi. Kematian seorang ibu dalam proses reproduksi merupakan tragedi yang mencemaskan. Keberadaan seorang ibu merupakan tonggak untuk tercapainya keluarga yang sejahtera dan kematian seorang ibu merupakan suatu bencana bagi keluarganya. Dampak sosial dan ekonomi kejadian ini dapat dipastikan sangat besar, baik bagi keluarga, masyarakat maupun angkatan kerja.(Abdullah,2007) World Health Organization (WHO) melaporkan pada tahun 2005 terdapat 536.000 wanita hamil meninggal akibat hipertensi pada saat persalinan di seluruh dunia. Angka Kematian Ibu (AKI) di Sub-sahara Afrika 270/100.000 kelahiran hidup, di Asia Selatan 188/100.00 kelahiran hidup dan di Asia Tenggara 35/100.000. Berdasarkan laporan WHO pada tahun 2005, di Indonesia angka kematian ibu tergolong tinggi yaitu 420/100.000 kelahiran hidup dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. AKI di Singapura 14/100.000 kelahiran hidup, di Malaysia 62/100.000 kelahiran hidup dan di Thailand 110/100.000 kelahiran hidup. Di Vietnam 150/100.000 kelahiran hidup, di Filipina 230/100.000 kelahiran hidup dan Myanmar 380/100.000 kelahiran hidup.(World Health Oganization,2010) Angka Kematian Ibu merupakan indikator keberhasilan pembangunan pada sektor kesehatan. AKI mengacu pada jumlah kematian ibu mulai dari masa kehamilan, persalinan dan nifas. Menurut data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2009, AKI di Indonesia 307/100.000 kelahiran hidup dan tahun 2009, 228/100.000 kelahiran hidup. AKI di Sumatera Utara 379/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009 dan 123/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2009. Berdasarkan laporan Depkes tahun 2009, AKI di Indonesia 226/100.000 kelahiran hidup. Penurunan AKI di Indonesia masih terlalu lambat untuk mencapai target Tujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) yaitu menurunkan angka kematian ibu tiga per empat selama kehamilan dan persalinan. Rentang tahun 2003-2009 penurunan AKI di Indonesia, jauh dari target yang ingin dicapai pada tahun 2010 dan 2015 diperkirakan 125/100.000 kelahiran hidup dan 115/100.000 kelahiran hidup.(Depkes RI, 2009) Kematian ibu menurut penyebab dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Penyebab kematian ibu langsung yaitu akibat komplikasi kehamilan, persalinan, masa nifas dan penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut. Penyebab kematian ibu tidak langsung yaitu akibat dari penyakit yang sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, penyakit kardiovaskuler, terlambat mendapat dan mencapai pelayanan kesehatan. Secara global 80% kematian ibu tergolong penyebab kematian ibu langsung yaitu perdarahan (25%) biasanya perdarahan pasca persalinan, sepsis (15%), hipertensi dalam kehamilan (12%), partus macet (8%), komplikasi aborsi tidak aman (13%) dan sebab lain (7%). Hipertensi sering terjadi akibat terlalu banyak anak, partus pada usia dini atau lanjut, jarak persalinan terlalu rapat, kehamilan pertama yang dikaitkan terjadinya CPD (Chepalo Pelvis Disproporsi), tinggi badan < 150 cm, ukuran panggul yang kecil, riwayat persalinan jelek dan petugas kesehatan tidak terlatih untuk mengenali persalinan macet yang menyebabkan tingginya risiko kematian bayi.10 Penyebab utama lahir mati adalah gangguan persalinan (25%), hipertensi (19%), masalah kesehatan ibu menjelang persalinan (13%) dan malpresentasi (12%). Hipertensi akan menyebabkan infeksi, kehabisan tenaga, dehidrasi pada ibu, kadang dapat terjadi atonia uteri yang dapat mengakibatkan pendarahan postpartum. Menurut Depkes tahun 2004, ibu hipertensi yang rawat inap di Rumah Sakit di Indonesia diperoleh proporsi 4,3% yaitu 12.176 dari 281.050 persalinan dan CFR ibu akibat hipertensi 0,7%. Dari hasil penelitian Khan di RS Pemerintah Karachi tahun 1991-1994 diperoleh proporsi hipertensi 2,6% yaitu 118 kasus dari 4.500 persalinan.13 Hasil penelitian Daffalah dkk di RS Pendidikan Wad Medani Sudan tahun 1997-1999 diperoleh proporsi hipertensi 1,3% yaitu 207 kasus dari 16.221 persalinan.  Hasil penelitian Orach di Uganda tahun 2000 diperoleh ibu yang meninggal akibat hipertensi 324 orang dengan CFR 26%.15 Hasil penelitian Gessessew dan Mesfin di RS Adigrat Zonal tahun 2001 diperoleh proporsi hipertensi 3,3% yaitu 195 kasus dari 5.980 persalinan dan CFR ibu akibat hipertensi 3,6%. Proporsi penyebab hipertensi yaitu CPD 64,9%, presentasi abnormal 32,5%, abnormalitas pada janin 2,1% dan mioma 0,5%. Dari hasil penelitian Mulidah dkk di RSUD Purworejo tahun 2000-2001 diperoleh proporsi hipertensi 15,5% yaitu 82 kasus dari 529 persalinan.17 Hasil penelitian Rusydi di RSUP Palembang tahun 2000-2004 diperoleh proporsi hipertensi 3,3% yaitu 350 kasus dari 10.593 persalinan. Dari hasil penelitian Syamsul di RSU Tanjung Pura Kabupaten Langkat dan RSU Kisaran Kabupaten Asahan Sumatera Utara tahun 2001, diperoleh di RSU Tanjung Pura proporsi hipertensi 44,4% yaitu 139 kasus dari 313 kedaruratan obstetri, CFR ibu akibat hipertensi 0,7% dan CFR bayi akibat hipertensi 2,2%. Di RSU Kisaran proporsi hipertensi 42,1% yaitu 118 kasus dari 280 kedaruratan obstetri dan CFR bayi akibat hipertensi 3,5%.(Depkes Sumatera Utara, 2010) Hasil penelitian Yeni di RSU Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara tahun 2002, di Tapanuli Utara diperoleh proporsi hipertensi 14,1% yaitu 30 dari 73 kasus kedaruratan obstetri. Di Tapanuli Selatan diperoleh proporsi hipertensi 41,9% yaitu 31 dari 74 kasus kedaruratan obstetri, di Deli Serdang diperoleh proporsi hipertensi 56% yaitu 37 dari 66 kasus kedaruratan obstetri. Dari hasil penelitian Abdi di RSIA Badrul Aini Medan tahun 2002-2006 diperoleh proporsi hipertensi 12,7% yaitu 411 kasus dari 3.225 persalinan dan CFR bayi akibat hipertensi 0,2%.21 Hasil penelitian Simbolon di Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang tahun 2007 diperoleh proporsi hipertensi 21,7% yaitu 273 kasus dari 1.260 persalinan. Berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medik Di RS Santa Elisabeth Medan tahun 2005-2009 ditemukan proporsi hipertensi 25,2% yaitu 615 kasus dari 2.436 persalinan. pada umumnya kehamilan yang sudah terdeteksi dengan risiko tinggi yang dapat menimbulkan hipertensi harus segera mendapatkan perawatan di rumah sakit sehingga penanganan dapat segera dilakukan. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang karakteristik ibu bersalin dengan hipertensi rawat inap di RS Santa Elisabeth Medan.

Sabtu, 11 Juni 2011

HIDROSEFALUS

Hidrosefalus berasal dari bahasa Yunani : Hidro artinya air, Sefalus adalah kepala. Hidrosefalus adalah penimbunan cairan di ruang yang secara normal terdapat dalam otak. Cairan yang dimaksud adalah cairan yang normal ada dalam otak dan dikenal sebagai cairan otak, sedangkan ruang yang terdapat dalam otak dikenal sebagai ventrikel. Cairan otak diproduksi dalam ventrikel; kemudian mengalir dalam ruang-ruang serta saluran-saluran yang dikenal sebagai sistem ventrikel; dan terakhir akan diserap kembali masuk ke dalam aliran darah. Cairan otak ini mengalir secara konstan dan memiliki bermacam-macam fungsi, anatara lain :
          Dengan adanya cairan otak yang berada di dalam dan di sekitar jaringan otak dan sumsum tulang belakang, maka organ-organ ini seolah-olah terendam dalam air, sehingga bila ada benturan dengan benda keras,  cairan otak berfungsi sebagai bantalan yang akan mengurangi pengaruh gaya dari luar.
          Cairan otak mengandung protein dan bahan makanan lain yang dibutuhkan untuk nutrisi maupun aktivitas otak secara normal. Bahan-bahan yang tidak berguna akan larut daslam cairan otak dan dibuang ke dalam sistem aliran darah.
     Hidrosefalus terjadi apabila produksi cairan otak tidak seimbang dengan penyerapannya, sehingga cairan otak terbendung, sistem ventrikel akan melebar dan tekanan dalam rongga kepala akan meningkat.
epidemiologi
Hidosefalus dengan insidensi hidrosefalus antara 0,2%-4% setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5%-1,8% pada tiap  1000 kelahiran dan 11%-43% disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri.  Tidak ada perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga  dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus dapat terjadi pada semua umur.  Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis.  Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak,  50% karena perdarahan subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4%  akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2008).
Hidrosefalus adalah salah satu dari kelainan tersering yang menimpa lebih dari 10.000 bayi setiap tahun, dan lebih dari 50% kasus hidrosefalus adalah hidrosefalus congenital.
Di Amerika Serikat insidens hidrosefalus congenital adalah 1 dari 1000 kelahiran dimana insiden hydrosefalus dapatan tidak diketahui secara pasti. Internasional insiden dari hidrosefalus dapatan tidak diketahui. Sekitar 100.000 pemasangan shunting dilakukan setiap tahun pada Negara-negara berkembang tetapi sedikit infromasi yang tersedia untuk negara lainnya. Angka kejadian hidrosefalus di dunia cukup tinggi, di Netherland 650 kasus pertahun, di Amerika  dilaporkan kasus hidrosefalus sekitar 2 permil, di Negara berkembang Hidrosefalus yang disebabkan factor pencetus seperti adanya infeksi pada aliran cairan serebrospinal sebanyak 3 kasus dari 100 kelahiran. Sedangkan di  Indonesia Hidrosefalus yang disebabkan factor pencetus seperti adanya perdarahan pada aliran cairan serebrospinal sebanyak satu kasus dari 1000 kelahiran, belum ada laporan keseluruhan hanya ada laporan dari Bali yaitu dari tahun 2006-2008 dilaporkan sekitar  812 kasus selama 14 tahun, kira-kira 10 permil (Maliawan., 2008).
Di Indonesia sendiri kasus hidrosefalus mencapai kurang lebih dua kasus per seribu kelahiran (Harsono, 2008). Data ini menunjukan bahwa kasus hidrosefalus termasuk kasus yang jarang terjadi di Indonesia. Walaupun demikian kasus hidrosefalus tetap merupakan masalah dalam dunia kedokteran, baik itu mengenai tumbuh kembang anak, keberhasilan di dalam terapi bedah, maupun masalah psikologis anak di masa yang akan datang.
Di Sumatera Utara sendiri kasus hidrosefalus mencapai kurang lebih satu kasus per seribu kelahiran yang diakibarkan kelainan bawaan (konginental). (suyanto, 2009). Melihat dari manifestasi klinis penyakit ini, masalah yang sering kali timbul adalah terutama mengenai progresivitas penyakit itu sendiri. Sebagian dari kasus hidrosefalus dapat berhenti sendiri, dalam arti lingkar kepala tidak bertambah besar, dan sebagian kasus lainnya mempunyai progresivitas yang tinggi, dimana lingkar kepala bertambah secara progresif karena terjadi sumbatan aliran cairan serebrospinal maupun produksinya sendiri yang bertambah. Gejala klinis anak hidrosefalus dapat bervariasi, mulai dari yang ringan sampai yang berat, tergantung dari penyebabnya. Gejala permulaan dari hidrosefalus seringkali tidak diketahui, sehingga seringkali penderita datang ke dokter sudah dalam keadaan terlambat. Selain itu faktor resiko hidrosefalus seringkali masih merupakan masalah yang awam bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia.

Gambaran Pengetahuan Ibu Tentang gizi pada Bayi 6-12 Bulan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Keadaan gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Terdapat kaitan yang sangat erat antara tingkat keadaan gizi dan konsumsi makanan. Tingkat keadaan gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi. Gizi buruk atau gizi salah (malnutrion) yang dapat terjadi pada manusia sejak masih dalam kandungan sampai mencapai usia lanjut itu, sesungguhnya dapat dicegah apabila setiap orang memahami penyebab dan cara mengatasi masalah kurang gizi tersebut. (Nurhamidah, 2008 ).
Kelompok masyarakat, yang paling rentan terhadap kekurangan gizi adalah bayi dan balita. Gejala yang nampak pada bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita kurang gizi yaitu berat badan lahir rendah, yang selanjutnya rentan terhadap penyakit dan kematian. Salah satu penyebab terjadinya malnutrisi pada anak yaitu kesalahan dalam praktik menyusui. Hal ini disebabkan karena tidak memanfaatkan keuntungan dan hasil teknologi suplementasi yang dapat
meningkatkan kasus malnutrisi atau kekurangan gizi, morbiditas atau kurang sehat dan mortalitas atau kematian. (Nurhamidah, 2008).
Kelaparan dan kurang gizi menjadi ancaman nomor satu bagi kelangsungan hidup anak – anak diseluruh dunia, melebihi penyakit AIDS, Malaria dan TBC. Data FAO ( Food and Agriculture Organitation ) tahun 2006 menyebutkan sekitar 854 juta orang di dunia menderita kelaparan kronis dan 820 juta diantaranya ada di negara berkembang. Dari jumlah tersebut lebih kurang 350 – 450 juta atau lebih dari 50% adalah bayi umur 6-12 bulan. Sumber dari WHO ( World Health Organisation ) menyebutkan kelaparan dan kurang gizi menyebabkan angka kematian tertinggi diseluruh dunia. Sedikitnya 17.289 bayi umur 6-12 bulan. meninggal dunia setiap hari karena kelaparan dan kurang gizi. ( heri@praisindo.com, 2007 ).
Kejadian kurang gizi menunjukan bahwa di Indonesia sekitar 153.681 bayi mati setiap tahun. Hal ini berarti setiap harinya ada 421 orang bayi mati, sama dengan 2 orang bayi mati setiap menit dan 54% penyebab kematian bayi karena kekurangan gizi. Balita Indonesia yang mengalami kurang gizi 8% dan mereka yang mengalami gizi buruk 50%. Di samping itu, balita Indonesia yang kekurangan vitamin A, 48,1% balita yang mengalami anemia 36%, anak Indonesia yang tergolong pendek, 11,1% mengalami GAKY (Gangguan Akibat Kurang Yodium), 50% dan ibu hamil mengalami kurang gizi. (Republika, 2007).
Data Dinas Kesehatan NTT tahun 2008 menyebutkan, jumlah balita yang mengalami masalah kurang gizi mencapai 90.000 orang dari sekitar 497 ribu balita. Sebanyak 12 ribu balita mengalami gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 167 balita mengalami gizi buruk dengan kelainan klinis (busung lapar atau komplikasi marasmus dan kwashiorkor). Selain itu, 68 ribu balita mengalami gizi kurang. Kabupaten yang paling banyak terdapat balita gizi buruk dengan kelainan klinis adalah Timur Tengah Utara yakni 81 balita. Sedangkan penderita kurang gizi paling banyak terdapat di Kabupaten Timur Tengah Selatan yakni berjumlah 12 ribu balita, Kabupaten Sikka 8.472 balita, Manggarai 8.364 balita, Timor Tengah Utara 7.267 balita dan Kupang 6.865 balita. (Tempointeraktif.com, 2008).
Hasil pengkajian Mahasiswa Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kupang di Puskesmas Batakte Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat pada bulan September tahun 2009, menunjukan bahwa pada bulan Januari sampai bulan Desember 2009 terdapat 26 balita yang gizi kurang dan 18 balita yang gizi buruk. Dari hasil wawancara dengan petugas kesehatan, penyebab kurang gizi pada anak di Batakte adalah minimnya pengetahuan orang tua tentang asupan gizi pada anak. Selama ini banyak orang tua yang menganggap jika anaknya hanya diberi makan nasi dengan kecap atau dengan lauk saja tanpa sayur, maka orang tua beranggapan bahwa hal itu sudah benar, karena anaknya sudah terbebas dari lapar. Hal ini jika terjadi secara terus-menerus akan berdampak pada menurunnya ketahanan tubuh anak sehingga anak akan mudah terserang penyakit. Selain itu orang tua, terutama ibu tidak begitu tanggap dengan kondisi anaknya sehingga saat berat badan anaknya menurun secara drastis, tidak segera di ambil tindakan untuk menangani kondisi anak tersebut. Jika kondisi iniberlangsung terus, anak mudah terserang penyakit akut. (Nurhamidah, 2008).
Tingkat pengetahuan orang tua tentang gizi pada anak sangat mempengaruhi kondisi atau status gizi pada anak. Tingkat pendidikan yang rendah berdampak pada kurangnya pengetahuan tentang pola asuh yang benar. Kebanyakan pekerjaan orang tua penderita gizi buruk adalah buruh dan ibu rumah tangga. Tingkat pendidikan SD dan tidak tamat bagi ayah 78% dan ibu 82% (Data Puskesmas Batakte, tahun 2009). Hal ini sangat mempengaruhi pola asuh yang benar pada anak. Dari hasil audit ke penderita gizi buruk, 100 persen penderitanya terinfeksi penyakit yang disebabkan oleh lemahnya daya tahan tubuh. Bantuan makanan sehat hanya bentuk penyelesaian jangka pendek. Hal yang paling penting dilakukan yakni memberikan informasi seperti pola asuh yang benar pada orang tua melalui pendidikan kesehatan tentang gizi. (Aminah, 2009).
Angka kejadian kurang gizi di NTT cukup tinggi. Berbagai kebijaksanaan dan strategi dari Pemerintah telah dilibatkan untuk mengurangi terjadinya kekurangan gizi. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan melakukan pendidikan dan penyuluhan tentang perbaikan kesehatan balita. Sejauh ini upaya yang dilakukan dirasakan belum optimal, karena latar belakang pendidikan orang tua yang masih rendah. Menanggapi permasalahan ini, peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana tingkat pengetahuan orang tua tentang kurang gizi pada anak di Puskesmas Batakte Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat.

B. PERUMUSAN MASALAH
1. Pernyataan Masalah
Pengetahuan orang tua yang kurang tentang asupan gizi untuk anak merupakan salah satu faktor pencetus munculnya kurang gizi. Pemberian makanan yang dilakukan secara terus – menerus dengan menu yang sama akan berdampak pada menurunnya daya tahan tubuh dan anak mudah terserang penyakit. Selain itu orang tua juga tidak mengetahui pola makan yang seimbang untuk anak. Hal ini juga merupakan pencetus bayi dan balita menderita kurang gizi. Anak yang mengalami kurang gizi, jika tidak mendapat penanganan yang baik akan mengakibatkan anak tersebut mengalami gizi buruk. Dampak dari gizi buruk tersebut dapat mengakibatkan kematian pada anak. Hingga saat ini angka kejadian kurang gizi di Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat masih ada. Berbagai program kebijakan kesehatan yang dibuat oleh pemerintah seperti salah satunya pemberdayaan program posyandu, terbukti belum optimal dalam menyelesaikan persoalan Kurang gizi. Program ini seperti berjalan di tempat, jika ada dana untuk pemberian makanan tambahan baru dilakukan dan itu tidak sampai di pemukiman – pemukiman masyarakat yang kebanyakan adalah masyarakat yang sangat rentan dengan kurang gizi.
2. Pertanyaan Masalah
Sejauh mana tingkat pengetahuan orang tua tentang kurang gizi pada balita di Puskesmas Batakte Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat.


C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Mengetahui tingkat pengetahuan orang tua tentang kurang gizi di Puskesmas Batakte Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat.
2. Tujuan Khusus
1.      Mengidentifikasi tingkat pengetahuan orang tua tentang pengertian,
Penyebab, tanda dan gejala kurang gizi pada balita di Puskesmas Batakte Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat.
2.      Mengidentifikasi tingkat pengetahuan orang tua tentang cara penanganan
Kurang gizi pada balita di Puskesmas Batakte Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat.
3.       Mengidentifikasi tingkat pengetahuan orang tua tentang cara pencegahan
Kurang gizi pada balita di Puskesmas Kelurahan Batakte Kecamatan Kupang Barat.

D. MANFAAT PENILITIAN
1. Bagi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dalam proses belajar mengajar dan metodologi pengetahuan.
2. Bagi Intitusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan pengetahuan tentang perawatan pada anak dengan kurang gizi.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahun dan wawasan untuk melakukan penelitian selanjutnya.